Oleh: Diani Ramadhaniesta
Tiga gajah besar
itu mengamuk di Desa Serapuh kabupaten Simalungun. Belalainya yang panjang
menyemburkan air dan bergoyang-goyang.
Kepalanya berusaha menghancurkan apapun yang dilihatnya termasuk rumah penduduk. Gadingnya menukik hendak berusaha
menghancurkan papan kayu rumah penduduk. Dari dalam sang empunya rumah memekik
ketakutan. Kakinya menghantam berdebum-debum bunyinya sangat keras. Memekakan
telinga.
Penduduk berteriak histeris,
tangisan anak anak melonglong. Ibu-ibu yang kebetulan berada di luar rumah
berlari sambil membopong anak kecilnya, dan tangan mungil itu mendekap erat tubuh ibunya. Para suami yang masih di ladang bersama istrinya berlari dibelakang
istri mereka menuju rumah mereka masing-masing.
Yang telah berada di rumah dengan sigap
menutup semua daun jendela dan mengunci
pintu dengan rapat.
BRAK…BRUK….OOOAAAAKKH….
Suara kaki gajah yang
berdebum-debum, serta lengkingan suaranya teramat memekakan telinga. Aku dari arah
dekat mengambil gambar gajah yang mengamuk dan juga merekamnya. Aku berusaha
secepat kilat mengarahkan kameraku dengan sempurna. Ketika gajah itu berbalik
ke arahku, aku berbalik dan berusaha menyelamatkan diri. Lari sekencang
mungkin.
“Bang,
oson ma jolo ho lojong cepat. Bang, sinilah kau cepat lari!” Paula Siregar
anak dari Bang Darmanan Siregar berteriak ketakutan. Keringat bercucuran
dikeningnya.
Aku segera masuk ke dalam pintu yang
telah dibukakan Paula dan daun pintu itu segera ditutupnya dengan rapat. Dari luar terdengar suara digedor-gedor cukup keras. Gajah itu
berusaha untuk mendapatkanku mungkin. Lalu menginjak tubuhku. Nafasku memburu naik turun. Tiba-tiba
terdengar suara sirine mobil polisi. Aku dan Paula mengintip dari celah jendela
kayu. Beberapa orang polisi , dokter hewan, dan lima orang Warga Serapuh
berdiri di jok belakang mobil memandangi
gajah yang mengamuk. Mereka telah memasang jebakan dan juga senapan yang berisi
obat bius.
Aku keluar kembali begitu gajah yang
mendobrak-dobrak rumah telah enyah.
Aku segera
memotret satu gajah yang telah berhasil tertangkap dan terkulai lemas di dalam
jaring. Kasihan.
***
Paula tertegun tidak percaya jika ia
mendapatkan gelar Duta Lingkungan dari Bupati Simalungun. Kakinya terasa tidak
dapat dilangkahkan lagi tatkala namanya disebutkan untuk maju ke atas panggung
untuk memberikan sambutan. Bulir beningnya mulai menganak sungai dan meretas tak dapat dibendung lagi. Meluap hingga tercipta tangis
bahagia dan juga kebingungan mengapa harus dia yang mendapatkan gelar duta
lingkungan. Apakah tidak salah gelar itu disematkan untuknya.
Paula siswi SMK 4 Simalungun yang
berparas manis dan berdagu lebar itu pernah suatu ketika menggalang dana untuk
program penghijauan di kawasan Hutan Aek Nauli yang sudah mulai gundul.
Penjarahan kayu di hutan itu terjadi sangat liar dan hal ini membuat Paula
geram. Paula menggagas sebuah ide untuk menggalang dana dan mengajak semua
temannya serta warga Simalungun untuk mengikuti program menanam 1000 pohon di Hutan Aek Nauli.
Dua bulan telah berlalu, bibit pohon haminjon telah tumbuh dan mulai
menampakkan daun barunya. Paula berdiri memandangi hamparan pohon yang masih
kecil itu dengan mata binarnya. Keindahan alam adalah suburnya hutan, itu kata yang selalu terpatri di hati Paula.
Hingga akhirnya Bupati Simalungun
memberikan gelar duta lingkungan
kepada Paula Siregar.
“Hutan adalah paru-paru dunia. Jaga
hutan, maka Anda sesungguhnya menjaga diri Anda dan orang-orang disekitar Anda.
Kurangi pemanasan global dengan menjaga hutan,” Paula mengakhiri sambutannya
dan disambut riuh tepuk tangan tamu undangan yang hadir di Gedung Bupati.
“Wah, tempurlah(1)
saya, jagung masih belum masak dah dihabiskan monyet-monyet liar,” ucap
Ucok sitorus di salah satu kedai kopi di Bukit Tinggi. Suaranya cukup lantang
terdengar hingga ke telinga Paula yang sedang melewati warung kopi itu sepulang
dari sekolah.
“Arangan
Nita on madung gok na sego dijarah jolma naso marotak. Hutan kita sudah banyak yang rusak dijarah manusia yang tidak punya
otak. Mereka juga tanam sawit di hutan tuh,” timpal yang lain. Paula memasang
telinga lebih tajam sambil berjalan pelan untuk segera pulang ke rumah.
Paula memasuki pekarangan rumahnya
yang sangat luas itu. Rumah adat bolon
yang dikelilingi pagar besi itu terlihat sangat gagah sekali. Tiang penyangga
rumah sebanyak 12 itu terlihat sangat
kokoh dengan warna hitam bercorak putih.
Sebuah mobil avanza terpakir di depan rumahnya. Paula berjalan dengan langkah
ragu dan penuh tanya.
“Mobil siapakah yang diparkir nih,” Tanya Paula dalam hati.
Paula mendekati tangga rumah dan
sejurus matanya mengintai ke dalam. Paula semakin penasaran karena walau ada sebuah mobil di depan
rumahnya, tidak ada suara lantang ayaknya(2) yang suka bercerita
itu.
Paula mengurungkan niatnya untuk
naik ke atas rumah, namun dia memutar badannya dan berjalan mengendap-endap di
bawah rumahnya. Paula berdiri di samping tiang penyangga rumah dan dilingkarkan
tangannya di sana sambil menguping pembicaraan ayaknya bersama tamu yang membuat Paula penasaran.
“Kalau kau bisa mengamankan keadaan
sehingga dengan mudah aku mengangkut kayu-kayu itu dari Hutan Bayu Raja, maka
aku berikan lagi uang berlipat-lipat dari jumlah sekarang,” ujar tamunya dan
suara khas Jawanya sangat ketara.
“Imadah.Tentu
saja. Aku yang seorang polisi ini pasti mampu mengamankan rencana ini.,”Jawab
Darmanan, Ayak Paula.
Gigi Paula gemeretak. Hatinya
mendadak ngilu. Sejak kapan ayak kandungnya menerima suap dari kasus
penjarahan hutan yang terjadi di
Simalungun? Apa gunanya gelar Duta Lingkungan yang disematkan tadi siang
untuknya? Apa gunanya polisi yang
bertugas menjaga keamanan justru merusak keamanan itu? Berjuta pertanyaan
berkecamuk di hati Paula.
Suara langkah kaki terdengar oleh Paula. Paula segera sembunyi di balik tiang
penyanggah rumah. Seorang lelaki timbun dengan baju perlentenya menuruni tangga
rumah paula dan segera memakai sepatu yang sangat berkilat
itu. Dengan langkah gagah dan
terlihat wibawah laki-laki yang telah menyuap bapaknya itu telah menciptakan
kubu kebencian yang luar biasa bagi Paula.
“Ayak
inda pantas mambaen songoni. Bapak tidak pantas berbuat macam itu.Apalagi
Ayak seorang polisi dan Paula siang tadi diangkat menjadi Duta Lingkungan oleh
Bupati Simalungun,” Paula berusaha menjelaskan, berharap ayak memahaminya,
“Naporlu
marepet-repet ko songon Umakmu(3), Paula.
Kau tak perlu teriak-teriak macam Mamak kau, Paula. Jika yang diatas tidak
jujur maka kita yang dibawah mereka akan
rugi.”
Paula tertegun cukup lama mendengar apa yang didengar baru saja. Paula
dibanding-bandingkan dengan Umaknya
yang telah meninggal. Dan sejak kapan Ayak
berubah fanatik dengan uang? Paula menatap lurus kepada Darmanan yang berbadan
tegap itu.
“Paula kecawa tengok tabiat Ayak!”
Darmanan menggebrak meja dengan
keras. Kedua tangannya mengepal dan otot-otot tersembul dari tangan kekarnya.
Rahangnya yang kokoh bergemelutuk. Sorot matanya tajam menikam mata Paula,
namun Paula tidak gentar. Paula semakin menantang dengan ke dua tangannya yang
berkacak pinggang.
“Tidak saja binatang buas yang akan
mengamuk, akan tetapi banjir dan tanah longsor akan menghancurkan desa kita,”
suara Paula mulai merendah dan ia berjalan menuju sebuah jendela. Paula melamun
dan matanya menangkap anak tetangganya sedang asyik bermain permainan Marsiada, yaitu permainan tradisional
anak-anak Simalungun yang dimainkan dengan lempar tangkap batu kecil tanpa
menyentuh batu lain.
Ada satu langkah yang bisa diambil
untuk menyelamatkan hutan di Simalungun yaitu melaporkan masalah ini ke
Pemerintah Propinsi Sumatra Utara beserta mengumpulkan bukti kejahatan Ayaknya.
Namun Paula mengurungkan niatnya. Walau bagaimanapun lelaki itulah yang
membesarkan Paula seorang diri setelah Umaknya
meninggal.
Paula menyadari kerusakan hutan yang
terjadi di Simalungun perlu segera diantisipasi. Pabrik kertas yang menebang
pohon di kawasan areal terlarang, pembukaan kebun kelapa sawit, maupun
penebangan pohon secara illegal sangat marak terjadi akhir-akhir ini. Bahkan
Paula pernah memergoki beberapa lori yang mengangkut kayu. Lori-lori itu tidak
saja menebang kayu saingon seperti apa yang diungkapkan oleh para perusak
hutan, namun mereka juga menebang kayu-kayu hutan milik pemerintah.
***
28 Maret 2013
Dear Deary,
Deary,
terlalu berat gelar yang kuterima saat ini. Duta lingkungan. Ingin rasanya aku
melepas gelar ini dan menjelaskan kepada mereka perihal hutan-hutan di
simalungun. Namun aku sungguh tidak bisa. Munafikkah aku? Aku tidak ingin Ayak yang
telah memiliki pangkat Irjen di jajaran
kepolisian lalu kedoknya terungkap oleh anaknya sendiri. Aku.
Deary,
namun ada candu yang menghibur sedikit sesak dihatiku. Pria itu. Pria yang
pendiam yang tinggal di rumahku. Apakah dia bisu? Dia hanya asyik dengan
kameranya tanpa perdulikanku yang selalu memperhatikannya.
Paula segera menutup buku diarynya
dan tertegun di meja belajar. Diingatnya kembali perktaan Ayaknya
siang tadi. Terasa menikam di dada. Paula hanya ingin Ayak sadar, bahwa menerima uang sogok dari si penjarah hutan itu
sama artinya bunuh diri dan juga membunuh orang banyak.
Paula kembali mengingat penjelasan
dari guru biografinya yang menjelaskan manfaat hutan.
Akar hutan menyerap air saat musim hujan dan mengelurkannya kembali saat musim kemarau. Hutan juga mampu menahan erosi, melindungi lapisan
ozon yaitu suatu lapisan diatas langit sebagai pelindung bumi dari sinar
langsung matahari. Hutan juga merupakan habitat hewan-hewan yang ada di
dalamnya, dan jika hutan rusak tidak dapat dipungkiri jika akhirnya hewan
melampiaskan kemarahannya dengan mengamuk ke desa-desa.
***
Hutan yang ada di hadapan Paula
tidak lagi sehijau dahulu, namun kini rusaknya lebih parah. Manusia-manusia
perusak hutan itu telah merusak
seenaknya. Yang tersisa hanyalah ranting-ranting pohon dan sisa akar pohon .
Mata Paula tampak tergenangi oleh rinai asin yang urung untuk dikeluarkan.
Setelah bercerita tentang hutan, gelarnya dan juga Ayaknya, aku mampu menangkap
perasaan yang membuat Paula semakin tertekan. Sementara aku hanya diam menatap
Paula penuh iba.
“Mabiar
Au Bang. Mate naron Umakku terseret bah. Aku takut Bang. Mamakku mati
terseret air bah. Aku takut hal itu terulang lagi ” Paula menerawang ke langit.
Mataku tiba-tiba menangkap seekor
monyet dengan anaknya yang menggantung di bawah perutnya. Mpnyet itu berjalan jalan mencari sesuatu diantara bekas
pohon yang ditebang.
“Kasihan monyet itu ya, Bang. Kenapa
selama Abang Faisal di Simalungun tidak pernah Paula dengar berbicara? Abang
asyik saja dengan kamera tuh,” Mata
Paula menunjuk ke kameraku dan aku segera memasukkan ke dalam tas.
Sejak pertama kali aku menginjakkan
kakiku di rumah Paula untuk kegiatan KKNku dari kampus, aku memang tidak pernah
berbicara dengan Paula. Aku memilih diam, walaupun dia berkali-kali bericara
aku hanya mendengarkannya dengan sabar. Hanya kepada Pak Darmanan Aku sedikit
bersuara. Mereka cukup baik mau menampungku yang sedang memngikuti KKN dan
tugasku adalah meneliti kebudayaan di Desa Serapuh.
Aku diam setelah kepergian Anggun
tunanganku. Kepergiannya yang sudah tiga bulan itu telah membuatku menjadi
pribadi yang pendiam apalagi kepada wanita. Aku hanya mampu mendengar jika
mereka bercerita tanpa mampu memberikan komentar. Seakan lidahku kelu pun pada
Paula yang sangat ramah padaku. Selalu menceritakan hutan-hutan di Sumatera
Utara tanpa kuminta.
“Saat gajah masuk desa dan
mengamuk hebat, aku takut kehilanganmu, Bang.
Kau terlau asyik mengambil gambar gajah itu,” lanjutnya lagi. Matahari
senja menyorot ke paras Paula dan rambutnya yang ikal mayang terlihat menyala merah.
GLUR….GLUR…GLUR…
Tiba-tiba ada suara sangat keras
seperti suara meriam dan bumi terasa bergetar hebat. Monyet yang sedang duduk
bersama anaknya itu terkejut dan berlari cukup kencang dan entah menyelamatkan
diri kemana.
“Longsor, longsor, tolong!”
lamat-lamat suara yang terdengar mencekam itu tertangkap telingaku. Paula
berubah pucat pasi.
“Aku tidak ingin kehilangan lagi,
Bang. Ayo balik selamatkan Apak,”
Paula segera beranjak dan menggengam diarynya erat. Aku merasa sangat aneh
terhadap Paula sejak pagi tadi dia selalu mendekap diary itu. Seolah-olah tidak
ingin kehilangan diarynya itu. Dan itu berlaku pada hari ini kebiasaan barunya
yang menenteng diary kemanapun kaki melangkah.
Bumi terus bergetar hebat dan suara
longsor itu seperti suara gemuruh yang luar biasa memekakkan telinga. Aku
segera meraih kameraku dan mulai memasang ancang-ancang untuk mengambil gambar.
Dari jauh kulihat tanah memakan tubuh tubuh yang berlari ketakutan.
Rumah Paula tampak miring dan dari dalam rumah kudengar
jeritan Pak Darmanan. Aku menggenggam lengan paula agar tidak masuk ke dalam,
namun Paula memberontak dan terus berlari ke dalam rumah dan diary yang ada di
tangannya terjatuh.
Ketika
Paula masuk, rumah itu roboh dan sebongkah
batu berdiamer 2 meter menggelinding dan
menghantam rumah Paula. Terakhir kudengar suara Paula melengking memanggil
namaku.
***
Aku tutup diary milik Paula. Aku
mendekapnya sangat erat seperti saat terkahir Paula mendekap diary ini. Aku
rekam berulang-ulang memoryku bersama Paula. Gadis itu sedikit telah mampu
membuatku menyunggingkan senyum. Gadis itu menyimpan rasa cintanya padaku
di sebuah diary yang kini telah berada
di dekapanku. Mengapa aku baru mengerti disaat Paula telah pergi.
“Lolololo….hutan hijau, hutan tunas,
hidup Paula, hidup Paula!”
Aku segera mencari suara yang
menyebut-nyebut nama Paula dengan sebuah nyanyian aneh. Ketika mataku menangkap
pada sosok lelaki dengan perban-perban di seluruh kepalanya dan juga kakinya dia
terlihat melompat-lompat cukup riang. “ Apakah
kakinya tidak sakit karena gerakannya yang aneh itu?” tanyaku dalam
hati. Kemudian dia berhenti lalu terdiam
dan menangis. Aku segera turun dari ranjang dan kugunakan tongkat untuk
berjalan. Yah, longsor itu telah membuat kakiku terluka cukup berat. Aku
berjalan tertatih sambil memandangi sesosok tubuh tegap berbaju seragam rumah
sakit sedang menangis sambil menyebut-nyebut nama Paula. Jantungku berdegup
sangat kencang dan nafasku seakan tersengal.
“Abang,” sapaku pada lelaki yang
hanya kulihat rambut belakangnya saja. Dia menoleh dan tersenyum lebar
memamerkan gusinya yang tidak bergigi lagi. Giginya telah tanggal semua, namun
aku masih mampu mengenalnya, dia adalah
Pak Darmanan Ayak Paula.
***
Keterangan :
Tempurlah : rugilah
Ayak : Bapak
Umak : Ibu